
Benjamin Lee Whorf pakar komunikasi dari Amerika menyebut unsur budaya salah satunya dapat menjelma melalui dunia pendidikan, melalui proses sosialisasi norma dan nilai social, yang bernuansa kritis yang membentuk identitas bangsa. Jepang menjadi Negara maju, lantaran bangsa Jepang memiliki nilai-nilai budaya yang kuat. Dunia pendidikan di Jepang menekankan pada disiplin, kerja keras, kesetiaan, dan keterampilan. Tahun 1987 TVRI menanyangkan Drama Seri produksi NHK Jepang tentang kehidupan seorang Shin Tanokura yang dikenal nama “Oshin”, menceritakan seorang Wanita yang sejak kecil menjadi pekerja keras, disiplin, kesetiaan, sehingga di masa dewasanya menjadi seorang pengusaha waralaba yang sukses di Kawasan Ginza, Tokyo Jepang. Kisah Oshin menggabarkan, budaya bangsa Jepang. Setahun sejak drama seri Oshin ditayangkan: Tepatnya 31 Maret 1984, para pelajar hingga mahasiswa di Jepang berslogan “kita belajar dari Oshin”.
Dunia pendidikan di Jepang, senantiasa memperhatikan kearifan dan budaya lokal, berawal dari kisah nyata “seekor anjing bernama Hachiko” yang dikenal kesetiannya kepada majikannya Profesor Ueno, seorang pengajar di Universitas Tokyo, selama hampir 9 tahun setia menunggu Sang Profesor pulang, di Statiun Shibuya, Tokyo hingga anjing tersebut tewas 21 Mei 1925. Pemerintah Lokal Shibuya, mendirikan patung Hachiko didepan Statiun Shibuya. Dan, dijadikan mata pelajaran di sekolah sekolah dasar tentang arti kesetiaan dan cinta. Dunia pendidikan di Indonesia, tampaknya belum menyentuh ilmu yang berasal dari kearifan local, terlalu banyak tergerus oleh penyesuaian ilmu dan perkembangannya dari Negara Luar, terutama dari Barat, yang dianggap lebih maju. Sejatinya bangsa – bangsa di Asia mempunyai “Asia Value” yaitu konsep yang merujuk pada nilai social, budaya, dan etika yang ada di Negara-Negara Asia. Seperti kolektivitas, resfek terhadap otoritas, kerja keras dan disiplin, stabilitas, dan nilai tradisional yang konservatif. Karenanya, kebijakan Prabowo “First Indonesia – dengan persatuan dan kesatuan semua komponen bangsa, perlu didukung sepenuhnya,”
Civitas akademika merupakan barometer budaya bangsa, karena sebagai pusat pengetahuan dan inovasi, pendidikan dan pembentukan karakter, pengaruh terhadap masyarakat, refleksi nilai – nilai budaya. Karenanya, sangat tidak berlebihan, dan relevan apabila pada masa Pemerintahan Prabowo, civitas akademika bahu membahu dalam kapasitasnya menjadi barometer budaya bangsa, yang tidak terlepas dari nilai-nilai kritis dan ilmiah. Civitas akademika tidah hanya menjadi penghuni menara gading, dan tidak menjadi seperti Don Quixot yang idealis buta, yang menganggap kincir angin dan segerombolan domba dianggapnya serangan musuh. Civitas Akademika haruslah menjadi barometer budaya, yang berkontribusi membantu program hasta cipta, menuju Indonesia Emas. Melalui gerakan dan kegiatan yang konstruktif dan terukur, serta penelitian-penelitian yang mengarah pada keutuhan bangsa dan nilai-nilai visioner. Hilirisasi adalah kebijakan “first Indonesia” dimana asset dan kekayaan alam Indonesia, tidak lagi dijual dengan barang mentah, tetapi harus menjadi barang setengah jadi dan bahkan barang jadi, agar nilai jual ekspornya tinggi.
Ferdinan F Tonees seorang sosiolog Jerman, kelahiran Oldenswort dengan konsepnya “gemeinschaft dan gesellscaft” sepertinya sangat relevan, jika menjadi panutan teoritis, dalam rangka menjelmakan kontrubsi penelitian dan Gerakan yang dipelopri oleh civitas akademika di Indonesia. Terlebih lagi, Menteri Keuangan R.I yang baru (Purbaya Yudi Sadewa, atas persetujuan Presiden Prabowo, dan diamini DPR telah menggelontorkan dana sebesar 200 Triliun Rupiah, yang salah satunya untuk kegiatan penelitian dan kegiatan bagi civitas akademika. Konsep Gemainschaft by blood – keterikatan darah, Gemenschaft by place – keterikatan tempat, Gesselscfat of main – keterikatan dan kesamaan tujuan, sangatlah “pas dan relevan” dengan kebijakan persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara “Prabowo”. Hiruk pikuk dan gemuruh opini dan penelitian tanpa ilmiah yang seringkali menjadi kasat mata keseharian di media social, sepertinya harus diakhiri dengan penelitian – penelitian dan Gerakan yang kritis dan konstruktif Civitas Akademika.
Saat ini, dunia seakan sempit, namun panas. Informasi mengenai seorang legislator Syahroni, ada di Bandara, saat demonstrasi terjadi di Jakarta, dengan cepat menyebar melalui medsos. Terbunuhnya Kepala Cabang BRI di Jakarta, hingga tertangkapnya pelaku pembunuhan, sudah diketahui oleh orang Cisimet di Kabupaten Lebak Selatan. Atau, tertangkapnya mantan Direktur dan Pengawas di Kabupaten lebak, sudah dapat diketahui oleh masyarakat di Kota Bandung. Kaburnya Presiden Nepal dari kejaran demontran, dan berhentinya perang Thailand dan Kamboja, dengan cepat diektahui siswa sekolah dasar di Cianjur Selatan. Era digital informasi ini, sudah diprediksi oleh seorang dokter yang akhli sosiolog bernama Alexis Karl: Dunia semakin sempit dan menjadi prahara oleh informasi. Padahal, Alvin Toffler (seorang pakar bidang informasi) mengatakan: Satu informasi, akan lebih mahal dari pada sebatang emas.
Sayangnya, informasi yang berkembang di Indonesia, dan juga banyak di Dunia “informasi yang berkembang dan dikembangkan” bernuansa hoax, adu domba, dan menciptakan kegaduhan, bagi stabilitas, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Kebijakan Pemerintahan Prabowo, sangat jelas ingin memerdekan, dan mendahulukan kepentingan rakyat Indonesia, mempunyai cita-cita yang selaras dengan UUD 1945 dan berujung terciptanya Indonesia Emas. Alangkah indahnya, apabila hiruk pikuk di medsos, aktivitas keseharian, diramaikan oleh civitas akademika sebagai barometer budaya bangsa dengan “kesejatian karakter dan budaya luhur Indonesia”. Jika demikian, maka lagunya Anggun C Sasmi “mimpi” tidak akan melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi, tapi menjadi bersama kenyataan Indonesia Jaya. SEMOGA !!!